Selasa, Desember 29, 2009

Tari Pendet Terkooptasi Industrialisme


copy from : Suara Merdeka Cetak - Wacana
28 Agustus 2009

WACANA yang mengemuka hari-hari ini adalah kembali menghangatnya perseteruan laten masyarakat Indonesia dengan jirannya terkait klaim Malaysia terhadap Tari Pendet dalam iklan pariwisatanya. Jika kita melihat rekam jejak berita selama ini, persengketaan Indonesia-Malaysia terjadi dalam dimensi yang sangat luas, mulai dari permasalahan politik pada Orde Lama dengan Gerakan Ganyang Malaysia, Sengketa Sipadan-Ligitan maupun blok Ambalat. Persengketaan tersebut semakin meluas pada tahun-tahun terakhir dalam berbagai aspek mulai dari masalah buruh migran, pembalakan hutan, hingga berbagai permasalahan yang bernuansa selebritas seperti kasus Manohara Pinot. Tidak kalah seru adalah permasalahan klaim Malaysia yang merasa berhak memiliki produk dan simbol kebudayaan yang selama ini dianggap identik dengan masyarakat di Indonesia.

Tulisan singkat ini memfokuskan pada permasalahan klaim sepihak yang terjadi atas berbagai produk kebudayaan oleh Malaysia seperti yang dilakukan terhadap Tari Pendet, atau pada waktu sebelumnya terhadap kesenian Reog, musik Angklung, lagu Rasa Sayange, serta batik Indonesia. Itu mengundang reaksi besar dari masyarakat dan media Indonesia.

Pemerintah bahkan ikut angkat suara melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Menteri Luar Negeri bahkan Presiden SBY yang menyampaikan nota protes kepada pemerintah Malaysia atas klaim terhadap produk budaya di atas. Pemerintah Indonesia juga akan segera mempatenkan semua produk dan kekayaan budaya Indonesia ke UNESCO untuk menghindari klaim dari pihak di luar Indonesia (SM, 26/08/2009 hal 2).

Jika kita dipahami lebih mendalam, terlihat bahwa pangkal persoalan yang muncul atas klaim sepihak produk budaya di atas adalah ketika produk kebudayaan tersebut dimunculkan sebagai ikon dalam iklan industri pariwisata, dalam hal ini industri pariwisata Malaysia yang tengah gencar mempromosikan dirinya sebagai destinasi pariwisata terbaik di Asia dengan slogannya ‘’The Truly Asia’’. Dunia pariwisata kini tengah menjelma sebagai sebuah industri yang menjanjikan sehingga berbagai promosi pariwisata serta pengemasan produk pariwisata di banyak negara telah menyeret kebudayaan sebagai aset sekaligus produk yang ikut dikemas dan dijual kepada para konsumen pariwisata yaitu para wisatawan yang berasal dari luar wilayah kebudayaan tersebut.

Industri pariwisata dengan segala kepentingannya telah mempersempit makna kebudayaan itu dan menerjemahkannya hanya sebagai sebuah produk yang layak dijual. Padahal jika kita mendalami studi mengenai kebudayaan, makna kebudayaan sesungguhnya lebih luas dari sekadar sebuah produk, melainkan juga menyangkut aspek ide maupun perilaku manusia.
Mencairnya Batas dan Sekat Klaim sepihak terhadap produk budaya sebenarnya tidak perlu terjadi jika kita memahami bahwa sebenarnya kebudayaan bukan hal yang sifatnya tunggal dan tersekat oleh batas spasial. Irwan Abdullah dalam buku Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (2007) mengemukakan, kita saat ini dalam memandang kebudayaan sudah tidak dapat lagi mengaitkannya dengan batasan wilayah geografis maupun politis karena kebudayaan tidak dapat lagi dikaitkan pada sebuah bounded system. Kebudayaan sudah sedemikian mencair hingga tidak kelihatan lagi batas yang jelas.

Tidak seperti anggapan masa lalu yang memandang kebudayaan terikat dalam suatu wilayah tertentu, maka studi kebudayaan saat ini memandang kebudayaan sebagai suatu hal yang lebih cair, tanpa batas yang jelas serta cenderung selalu bersintesis dengan kebudayaan masyarakat lain baik melalui proses difusi, asimilasi, akulturasi maupun globalisasi.

Kita akan menyaksikan fenomena bahwa kebudayaan Jawa tidak lagi terikat oleh wilayah geografis Pulau Jawa, melainkan telah mencair hingga ke Jakarta, Lampung, Deli, Kalimantan, bahkan Suriname. Kita juga tidak perlu heran ketika menemukan bahwa kampung komunitas Cina (Pecinan) dan Kampung Arab (Kauman atau Sayidan) terdapat hampir di semua kota di Indonesia. Masyarakat Semarang juga merasa sah ketika membanggakan Kuil Sam Poo Kong sebagai aset budaya mereka meskipun sebenarnya ikon pariwisata tersebut bersumber dari kebudayaan Tiong Hoa.

Globalisasi kebudayaan sebenarnya telah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Jika kita mengklaim bahwa wayang beserta epos Ramayana dan Mahabarata adalah kesenian masyarakat Indonesia, maka sebenarnya yang terjadi adalah wayang tersebut berasal dari daratan Hindustan sejak ratusan tahun lalu kemudian menyebar melalui Thailand, Vietnam, Malaysia hingga di tanah Jawa.

Begitupun jika kita menengok saudara kita yang saat ini menjadi warga negara Suriname, mereka telah membawa warisan kebudayaan Jawa menjadi kebudayaan lokal di Suriname. Oleh sebab itu mengaitkan sebuah kebudayaan atau produk kebudayaan dengan lokalitas geografis maupun politis tidaklah selalu tepat. Kebudayaan Melayu bisa saja kita temui di semenanjung Malaya, Indocina, Sumatera, Kalimantan bahkan hingga ke kepulauan Filipina. Begitu pula kebudayaan masyarakat Papua eksis di Papua Barat (Indonesia) maupun di Papua New Guinea.

Kapitalisme secara nyata berhasil menggerakkan negara untuk mempatenkan produk budaya Indonesia sehingga menjamin pihak lain tidak mengambil keuntungan dari produk budaya tersebut. Upaya mempatenkan tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan telah terkooptasi oleh belenggu kapitalisme yang menjadikannnya sebagai komoditas industri. Oleh karena itu jika hari-hari ini kita masih asyik menikmati perdebatan mengenai klaim Malaysia atas kebudayaan Indonesia, maka yang sebenarnya tengah dipentaskan adalah kompetisi pasar yang sangat lazim terjadi dalam arena kapitalisme. (80)

—Kuncoro Bayu Prasetyo, SAnt mahasiswa Program Antropologi Sekolah Pascasarjana UGM

Internet, Relasi Sosial dan Kontrol Sosial



Copy From : Suara Merdeka Cetak - Wacana
19 Desember 2009


DALAM minggu - minggu terakhir ini, kehidupan sosial, politik, dan hukum di Indonesia banyak diwarnai berbagai kejadian yang menyedot perhatian publik. Kasus terakhir yang cukup menyita perhatian adalah kriminalisasi pimpinan KPK serta mencuatnya kembali kasus Prita Mulyasari.

Kedua kasus tersebut mencapai klimaksnya ketika masyarakat sipil menciptakan gerakan sosial yang luar biasa dahsyat sehingga mampu memberikan peran yang sangat signifikan terhadap arah penanganan kasus tersebut. Gerakan sosial tersebut tercipta melalui apa yang disebut Gerakan Satu Juta Facebooker mendukung Bibit-Chandra, serta gerakan Koin untuk Prita yang digagas oleh komunitas blogger di Indonesia.

Kedua gerakan yang luar biasa hebat tersebut tercipta berkat adanya kemajuan teknologi informasi yaitu jaringan internet. Internet kini telah menjadi ruang sosial baru bagi banyak individu dalam masyarakat yang terbentuk dalam berbagai jejaring sosial seperti mailing list, blog, maupun situs perkawanan seperti facebook atau friendster.

Beberapa pemerhati kebudayaan mengatakan bahwa kemunculan internet dalam kehidupan manusia adalah bagaikan gempa tektonik berkekuatan 10 Skala Richter yang telah mengguncang peradaban umat manusia. Internet telah menjadikan seluruh sudut dunia terhubung dalam jaring ñ jaring informasi sehingga meniadakan batas jarak, ruang, dan waktu. Dengan meminjam istilah Marshall McLuhan, dunia saat ini telah telah tereduksi menjadi sebuah desa global (global village).

Dengan demikian, internet tidak hanya sekadar merevolusi cara manusia berelasi dan berkomunikasi yang menembus jarak, ruang, dan waktu, tetapi juga telah menciptakan satu bentuk masyarakat baru yaitu masyarakat virtual atau dengan istilah Benedict Anderson adalah komunitas imajiner yang dipersatukan oleh kesamaan interest, ideologi dan bahasa virtual.

Relasi yang terbentuk di dalam masyarakat virtual tentu saja berbeda dengan relasi ñ relasi tradisional yang berbasis tubuh. Ruang ñ ruang sosial telah bertransformasi dari ruang yang memerlukan dimensi bentuk dan spasial yang sangat fisikal menuju ruangan nirbentuk yang dapat berupa folder ñ folder ruang chating, blog, pesan dinding virtual, ataupun forum ñ forum diskusi virtual.

Dengan bentuk relasi yang tidak berbasis pada tubuh, maka yang menjadi dasar dari pembentukan sebuah komunitas di dunia maya tidak lagi sekadar kesamaan etnis, bahasa, ataupun identitas kelokalan. Relasi dalam dunia maya adalah relasi sebuah masyarakat tak berbatas (borderless society) yang jauh melintasi batas identitas lokal dan kultural.

Ruang cyber yang telah mengikis batas ñ batas geografis dan juga batas kebudayaan telah memberi peluang terhadap munculnya kehidupan multikultural. Komunitas ñ komunitas multikultur dapat dengan mudah terbentuk di ruang ñ ruang cyber.

Relasi yang terbentuk melalui ruang ñ ruang cyber memang kemudian menjadi relasi yang sangat unik, karena tidak lagi tersekat dengan jarak, ruang fisik, dan waktu. Seorang anak SMP di sudut kota Blora saat ini sangat mungkin memiliki kawan seorang mahasiswa yang tinggal di metropolitan New York. Atau juga seorang karyawan yang meskipun bekerja dari pagi hingga malam hari, tetap dapat memiliki ruang sosial di sela ñ sela waktu bekerjanya dengan berkumpul bersama teman ñ teman kuliahnya dulu dengan YahooMessenger atau facebook.

Relasi yang diciptakan di dunia maya, selain membentuk masyarakat virtual, juga merupakan sebuah proses pembebasan subjek atas kekangan khas tradisional dalam hal komunikasi dan penyebaran informasi. Dalam pandangan ñ pandangan yang utopis tersebut, internet dianggap sebagai media emansipatoris atau media pembebasan karena ia menyediakan ruang komunikasi dua arah yang bebas dominasi, tidak seperti televisi atau radio misalnya yang hanya menyediakan komunikasi satu arah dan audiens dianggap sebagai subjek yang pasif. Internet dipandang telah menjadi ruang publik yang paling ideal di mana segala wacana dan opini dapat bebas disuarakan. Gagasan ruang publik (public sphere) sebagaimana dikemukakan Jurgen Habermas, yaitu sebagai ruang dimana opini publik bisa dibentuk, menemukan bentuknya yang nyata dalam dunia maya.
Tiadakan Jarak Internet telah mampu meniadakan jarak antara audiens dengan produsen berita, sehingga dialektika hubungan terjalin secara equal, dan audiens memiliki kemampuan feedback yang lebih memadai. Internet dengan demikian telah menjelma menjadi media komunikasi di mana masyarakat tidak saja menjadi konsumen pasif dari berita atau informasi, melainkan juga dapat menjadi produsen berita itu sendiri.

Masyarakat juga menentukan ke arah mana berita itu akan dibawa, termasuk misalnya sebagai alat mengontrol kebijakan pemerintah yang dianggap keliru atau sebagai kontrol terhadap sistem hukum yang dianggap bermasalah seperti halnya yang telah terjadi dalam kasus Bibit-Chandra dan Prita Mulyasari.

Sebagai ruang publik, internet telah mampu memobilisasi wacana yang menjadi driving force sebuah perubahan yang daya tekannya lebih hebat daripada sekadar mobilisasi massa secara fisik. Bersama dengan masyarakat media lainnya, baik media cetak maupun elektronik, energi besar yang berada dalam masyarakat terbayang inilah yang menjadi kekuatan masyarakat sipil yang mampu menjadi alat kontrol sosial bagi kekuasaan negara, tidak kalah dahsyatnya dibandingkan sebuah unjuk rasa yang melibatkan masyarakat secara fisik.

Fenomena gerakan Satu Juta Facebooker Pendukung Bibit-Chandra maupun gerakan Koin untuk Prita merupakan bukti nyata ketika internet telah menjelma menjadi ruang publik yang mampu memobilisasi wacana dan membentuk opini masyarakat serta mengambil peran besar dalam fungsi kontrol sosial masyarakat sipil yang sangat efektif atas kebijakan dan kekuasaan negara yang merugikan kepentingan dan keadilan masyarakat. (10)

— Kuncoro Bayu Prasetyo, SAnt, MA, dosen antropologi FIS Unnes